Kamis, 09 Maret 2017

Tiga Sahabat - Three Idiots

Yogyakarta, 9 Maret 2017
22:43


Aku ih tiba-tiba pengen banget nulis soal tiga sahabatku ini. Kalo suatu saat kalian baca, nggak usah geer! :p
Kita bareng-bareng dari jaman S1 dulu. Kalau aku sama usron sih, dari jaman awal masuk kuliah banget, 2009. Kalo sama mba puput, dari kapan ya? Dari skripsi bareng! :D

Dulu, jaman skripsian, kemana-mana selalu bertiga eh ada mba uli juga ding. Kami sering, curhat satu sama lain. Yang paling aku suka sahabatan dari kalian adalah, selain karna kita-kita lumayan mirip dari kebiasaan sampe sifat dan cara pandang, juga karna kita yang saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Kami nggak pernah menyentuh area privasi masing-masing. Kami saling tau, dan nggak pernah berusaha untuk masuk dan nerobos. Ini yang aku nggak dapet dari orang lain (kecuali Nana yang emang de bes banget dari jaman SD). Banyak orang mencoba "sok tau" dan "sok ikut campur" dengan urusan dan kehidupan pribadiku. Tapi kami nggak. Kami sih, prinsipnya, kalau mau cerita juga monggo, nggak juga nggak papa. Kami saling mengerti dan mendengarkan cerita satu sama lain, meski rasanya nggak penting-penting amat, tapi kami saling mendengarkan.

Ketika akhirnya wisuda dan pisah, aku lanjut S2, Usron kerja, Mba Puput juga kerja, kita beda kota. Rasanya, meski dapat teman-teman baru, tapi yang kayak mereka itu nggak ada! Yaiyalah, (NGGAK USAH GR KALIAN :P). Kadang aku merasa, selama dua tahun lebih nggak bareng sama mereka itu, rasanya kayak kehilangan diriku sendiri. Lagipula kita jarang kontak-kontak. Tapi ya itu, karna mungkin lingkunganku bukan dan nggak ada kalian, rasanya aku harus menyesuaikan diri dari awal. Memang berhasil sih, tapi kadang aku merasa aku kehilangan diriku sendiri. Tapi Allah membuat kita jadi satu kota lagi, dan aku seperti menemukan diriku lagi.

Yang aku tau, kalian selalu mendukung dan membantuku saat aku sulit. Kalian yang selalu ada disaat aku senang dan sedih. Kalian yang aku cari disaat aku gembira, sedih dan marah. Kalian yang membuatku selalu terpacu untuk menjadi orang yang lebih baik, yang selalu mengingatkan aku sama Allah, orang tua, keluarga dan hal-hal penting lainnya. Kalian yang bikin aku menemukan kembali diriku yang serasa hilang, yang bikin aku berani mengambil keputusan dan bikin aku jadi orang yang lebih baik. Ini nggak pernah berubah dari dulu!

Waktu ada yang bilang, kalau aku nggak pernah bisa menjaga hubungan dengan siapapun, aku marah memang. Aku sih, diam saja. Kalau aku memang nggak bisa menjaga hubungan, aku udah jauh dong dari dua sahabatku ini. Toh, dua tahun kami nggak bareng-bareng sama sekali nggak bikin kita jadi jauh dan canggung, makin kesini makin akrab. Persahabatan kami dari dulu, sudah saling mendewasakan satu sama lain. Kami saling belajar satu sama lain, dan memang kami tidak pernah bisa romantis, ngirim emot-emot menjijikkan, tapi nggak pernah bermaksud!

Lucunya, sahabatan sama kalian tidak serta merta membuatku banyak berjuang dan berusaha untuk saling menjaga persahabatan ini. Rasanya semua mengalir begitu saja. Mungkin berbeda, kalau berteman dengan orang lain, aku bisa menjaga sekuat tenaga, mungkin karna aku merasa hanya aku seorang. Tapi kalo sama mereka, semua dibawa santai dan enjoy. 

Kami hobinya tertawa dan mentertawakan diri sendiri. Itulah yang dinamakan sahabat, bukan? 


Setelah dua tahun nggak bareng, ketika akhirnya bareng lagi di Jogja, masih banyak yang bilang kita mirip, bahkan kembar. Aku sih rela-rela aja, tapi masih suka bingung, mirip darimana?! :D

Sabtu, 04 Maret 2017

(Haruskah) Membuka Luka Lama (?)

Yogyakarta, 4 Maret 2017

diiringi perut mulas dan sedikit perasaan gundah


Sulit untukku menceritakannya lagi. Tapi ini seperti hutang, karna aku pernah berjanji pada diriku, dan juga sahabatku, entah bagaimana nanti akhirnya, apakah aku dengannya atau dia dengan orang lain, aku tetap harus menuliskannya. Aku sulit menerimanya, tapi aku usahakan untuk tetap menjadi aku seperti biasanya, dan aku tinggalkan dia dengan kenangan dan luka-lukaku di masa lalu. Maafkan jika aku terlampau egois. Bukankah perihal mencintai, semua orang berubah menjadi egois?

Ada suatu masa, dimana aku dikenalkan oleh Allah denganmu. Sebagai seorang sahabat yang (mungkin) tidak bisa dipisahkan (namun itu dulu). Aku seperti dipermainkan oleh perasaanku sendiri. Maaf, karena tidak sedikitpun aku menyalahkanmu. Aku pernah berdua bersamamu, dulu, baik ketika kamu sendiri, maupun telah berdua. Rasa itu tumbuh dan berkembang dengan sendirinya tanpa bisa aku kendalikan, tanpa bisa aku sadari sepenuhnya, yang aku lakukan hanya bisa menemanimu dari sisi terburuk hingga terbaik, dari ketika kamu susah, dan ketika kamu bahagia. Sedikitpun aku tidak pernah menyesalinya. Kini aku percaya, ketika Allah tidak pernah menjodohkan kamu dengan dia, sedekat apapun kamu dan dia, kamu takkan bisa bersatu dengannya.

Sudah lama sekali, sejak pertama aku mengenalmu. Sudah lama sekali sejak perasaan itu tumbuh. Sudah lama sekali, sejak kenangan pertama dan selanjutnya berkembang dan sekarang menjadi sesuatu yang hanya patut aku sisihkan. Aku sama sekali tidak berhak untuk mengganggumu lagi.

Dan ada hari ketika kita terus bersama, sejak pagi hingga malam, sejak kamu sendiri sampai kamu berdua dan wanitamu selalu merasa tersisih dengan kehadiranku. Aku memiliki cintamu, tapi tidak dengan dirimu. Sama halnya dengan wanitamu, dia memiliki ragamu tapi tidak dengan cintamu. Posisi kita begitu sulit. Sulit bagimu meninggalkannya, dan sulit bagiku untuk menerimamu karna aku terlalu yakin bahwa kita hanya sahabat. Munafik sekali aku. Bahkan waktu yang kau punya lebih banyak kau habiskan denganku dibanding dengannya. Kamu menjagaku dan berbagi mimpi denganku, menyertakan aku dalam masa depanmu, membuatku selalu merasa bahwa aku wanita beruntung karna sudah menjadi bagian dari sekarangmu dan masa depanmu. Semua teman (bahkan juga dosen) mengira mungkin suatu saat kita akan bersama, bahwa wanita sekarangmu hanyalah sampinganmu. Tapi namanya manusia, hanya bisa meramal, menerka dari apa yang terjadi sekarang, berusaha (sok) tahu dengan kehidupan seseorang itu selalu salah. Mereka salah. Aku salah. Dia pun mungkin salah. Meski selalu menyenangkan dengannya, tertawa, gembira, sedih, senang, takut, gundah, benci, marah dan segala perasaan itu, tapi ada satu titik dimana, meskipun hari-hariku banyak kuhabiskan dengannya, tapi perasaanku mengatakan bahwa bukan dia orangnya yang akan menemaniku di masa tua nanti.

Sudah lebih dari empat tahun, sejak kamu memutuskan menjauhiku. Sudahlah, jangan tanyakan lagi bagaimana perasaanku saat itu. Sakit, sedih, marah, kecewa, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara kamu semakin bahagia, perasaanku semakin lara. Bohong saat kamu bilang bahwa hal terpenting dari mencintai adalah melihatnya bahagia meski tidak bersamamu, tetap saja aku ingin bahagianya adalah karenaku. Saat itu aku mengerti lagi, aku tidak lagi memiliki cintamu, perhatianmu dan kasih sayangmu. Bahkan ragamu sudah kau setel berjauh-jauhan denganku. Tatapan mata teduh, senyum yang hangat, tawamu yang membuat hatiku selalu menghangat, bahkan hanya sekedar sapamu pun tidak lagi kau tujukan buatku. (aku berusaha sekuat hati untuk tidak lagi menangis, tapi itu hanya menyakitiku). Yaa Allah, kembalikan dia padaku. Selalu saja doa-doa itu yang aku panjatkan. Aku rindu sekali dengan semuanya tentangmu. Kemana kamu? Sedang apa kamu? Ingatkah kamu padaku? :(

Dan diantara hari-hari penantian itu, aku yang selalu merindukanmu berharap jika suatu saat nanti kamu akan berbalik dan datang padaku. Teman-teman selalu bertanya, jika suatu saat dia kembali, apa yang akan aku lakukan? Aku akan kembali menerimanya. Selama aku masih sendiri, selama aku masih dengan rinduku, akan aku terima kembali dia dalam hidupku. Tapi nyatanya? Sampai sekarang kamu tak jua kembali. Bahkan tidak ada lagi aku dalam hidupmu.

Kita pernah bercakap, tapi ternyata kita adalah dua orang yang saling asing satu sama lain. Aku mengenalmu, tapi disaat itupun aku lebih banyak tidak mengenalmu. Kenapa rasanya sakit dan sedih sekali? Aku iri pada sahabat-sahabatku yang masih bisa bebas berbincang dan tertawa bersamamu, sedangkan aku tidak. Ini sungguh menyakitkan buatku.

Aku berusaha, dua tahun ini untuk melupakan dan mengikhlaskanmu pergi menjauh dariku. Mungkin aku masih dengan sombong berkata bahwa usahaku berhasil! (Sejak Juni 2015- ingat sekali dengan terapi kelompok di kelas itu). Tapi akhir-akhir ini tiba-tiba pertahananku semakin runtuh dan rasanya kembali merasakan sakit dan pedih, meski tidak sesakit dulu. Sejak akhir tahun lalu, sejak tahu rencanamu menikah dengan wanitamu itu, dan ketika akhirnya aku tau hari itu datang, aku berusaha menguatkan diriku lagi dan lagi, bahwa aku tak apa, bahwa aku baik-baik saja. dan lagi-lagi aku bersembunyi dalam topeng dan sandirawaku. Sungguh, hanya sedikit orang yang melihat bahwa aku tak pernah baik-baik saja selama ini. Dan ketika malam ini, hal itu terungkit lagi, aku seperti sudah kehabisan tenaga untuk mengingatmu. Air mataku memang tidak sederas dulu, tapi tetap masih ada. Hatiku memang tidak sesedih dulu, tapi sekarangpun masih sedih.

Bagaimana bisa aku dengan mudah lupa pada seseorang yang bisa menerimaku apa adanya diriku, yang selalu menyediakan waktu, cinta, kasih sayang dan perhatiannya untukku. Yang benci melihatku sedih dan menangis, yang selalu mengusahakan agar aku bisa bahagia dan sehat, yang selalu membantuku disaat aku susah, yang tidak pernah absen menghiburku, yang bisa membantuku menjadi orang yang jauh jauh dan jauh sekali lebih baik dari sebelumnya. Orang yang selalu  aku ingat senyumnya, tawanya, dan semua bentuk perhatian kecilnya. Aku rindu, dan aku sangat rindu. Tapi aku juga sedih, sedih dan sedih, karena biar bagaimanapun, kamu sudah menjadi milik yang sah orang lain. Apakah aku bisa mencintai orang lain, sebanyak dan sebesar aku mencintaimu? Apakah ada orang lain yang bisa memberikan sayang dan perhatiannya untukku sebanyak dan sebesar kamu?

Maaf, aku bukannya mengeluh dan tidak bersyukur. 
Maaf.
Maaf, bahkan sampai sekarang pun, "turut berbahagia atas bahagiamu" masih sangat sulit aku lakukan.
Maaf, diharimu yang paling bahagia pun aku tidak mengucapkan sepatah katapun, bahkan untuk bertemu pun aku tidak sanggup.

Maaf. Maaf dan maaf,
Terima kasih, karena pernah mengajarkan aku menjadi aku yang sebenarnya