Rabu, 08 Februari 2017

Untuk Aku

Yogyakarta, 9 Febuari 2017
Untuk aku, dari aku


Hai aku! 
Sudahlah, tidak usah bersedih. Tidak perlu berkecil hati. Tidak perlu meratapi.
Bangkitlah, bangkitlah menjadi aku yang kuat, yang selalu tersenyum dan tertawa dan membagikan keceriaan untuk orang-orang disekitar.
Kuatlah, selalu menjadi orang kuat. Beban dipundakmu itu, tidak perlu terus-terusan membuatmu berpikir terus menerus.

Untukku,
Bagiku aku adalah segalanya. Mencintai diri dan hidup sendiri. Hidup atas kebesaran dan kerendahan hati.
Tak mengapa meski tak banyak orang yang paham dan mengerti, karena aku sudah unik dengan caraku  sendiri.
Untukku,
Bersemangatlah sedikit. Jangan risau, dan jangan galau.
Biarlah waktu terus berlalu, tapi kamu tidak akan pernah menyerah, oke?

Apapun yang menjadi pikiran dan bebanmu saat ini, tak berhak merenggut sebagian atau seluruh tawamu.
Apapun yang mengganjal dan menjegalmu saat ini, tak berhak membuat kamu jatuh dan tidak bangkit lagi.
Bersabarlah, bersabarlah, bersabarlah.
Ikhlaskan, bahwa segala sesuatu sudah menjadi kodrat Allah, yang dimana rencananya jauh lebih baik dibanding rencanamu.




dari aku untuk aku yang sedang galau

Untuk (Laki-Laki) Sahabatku

Yogyakarta, 8 Febuari 2017

Teruntuk Kawan, sekaligus orang yang diam-diam selalu aku doakan


Halo, sedang apa kamu disana? Sehatkah? Bahagiakah?
Apapun, tapi aku selalu mendoakan kesehatan dan kebahagianmu, selalu.
Malam ini aku tahu satu dan banyak hal tentangmu, yang selama ini tak kamu bagikan padaku.

Aku tidak mengerti, dan tidak berhenti untuk mengira. Aku mungkin salah telah mengharap lebih dan lebih. Bahkan ketika kamu meniadakan harapan itu, salahkah aku?
Sudah lama sekali, sudah tujuh tahun dan lebih aku mengenalmu. Ingin mengenalmu lagi dan lagi. Tertawa dan bersedih bersamamu. Selama ini, hanya aku yang bersedih sendiri, sementara kamu tidak. Tidak mengapa, karena bahagiamu yang utama.

Kupikir, setelah kamu bercerita bahwa melepasnya adalah hal yang termudah (sekaligus tersulit) bagimu, melihat orang-orang di masa lalumu menikah dan berbahagia, kamu akan mencari dan menemukan kebahagiaanmu sendiri. Aku mengaku, aku sedikit banyak sudah lancang cemburu. Apakah perasaan ini bisa aku tepis? Tidak. Karena aku selalu berpaku pada satu titik dalam dirimu: suatu saat kamu akan melihatku dan menggenggamku. Kupikir aku mulai gila, saat melihat seseorang di masa lalumu berkata dia sudah menemanimu dari nol dan kamu dengan teganya membuangnya. Aku memang tidak pernah (dengan sengaja) menemanimu dari nol. Tapi aku tahu, disaat kamu belum sebaik ini, disaat kamu belum sedewasa ini, kamu menjadikanku tempat berkeluh kesah. Dan mungkin aku, dengan bodohnya, selalu mendengar semua cacian dan makian. Aku yang (mungkin) dengan sabarnya, menemanimu dari kamu bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang dikagumi banyak orang. Di saat mungkin kamu lupa, di saat itu aku belajar untuk melupa. Tapi, kamu dengan mudahnya meruntuhkan tembok yang aku bangun tinggi-tinggi.

Ada satu hal yang aku syukuri, karena aku selalu menjadi temanmu, tidak pernah sedikitpun kamu ingin membuangku, dan tetap menjadikanku temanmu. Tidak ada kata putus, tidak ada kata berpisah. Apakah ini baik? Atau justru ini secara tidak sengaja menyakitiku? Entahlah. Tapi tak mengapa, dengan begini pun aku sudah senang. Membebaskanmu, mengikhlaskanmu dan merelakanmu sudah menjadi bagian dari diriku bertahun-tahun. Dan aku tidak tahu akan seperti apa kita kelak, yang terpenting aku bersyukur karena sudah menjadi bagian hidupmu, menjadi temanmu.

Baiklah, tak mengapa.
Jangan biarkan aku terbelenggu oleh pesonamu.
Maafkan aku yang sudah lancang mencemburuimu.
Maafkan aku yang sudah (pernah) sangat menginginkanmu.




Teruntuk sahabatku,
dari seseorang yang selalu kau cari di saat kau patah dan terjatuh