Senin, 04 September 2017

26

Banyumas, 4 September 2017


Alhamdulillah Alhamdulillah Alhamdulillah.
Segala puji hanya untuk-Mu, yaa Allah.

Hari ini nih, tepat 26 tahun yang lalu, aku dilahirkan. Tua juga ya hahaha.
Alhamdulillah lah. Meng-aamiin-kan semua doa baik dari semua orang. Setau gini kalo masih dirayain ulang taun juga malu sendiri ahaha.

Taun ini dapet kado leptop dari bapak mama, gara-gara leptop eror mulu belakangan. Padahal butuh banget buat nulis tesis. Alhamdulillah Alhamdulillah.

Intinya sih, di umur yang semakin bertambah tua sekarang pengen semua yang terbaik dihidupku, untukku, orang tuaku, keluargaku, dan sahabat-sahabatku semua. Pengen jadi tambah dewasa, tambah sabar, tambah bisa mengendalikan marah, tambah enggak suka nggrundel, tambah lebih baik semuanya. InsyaAllah. Oh ya, pengen lulus kuliah juga di umur ini, di taun ini juga. Pengen wisuda, dapet kerjaan, ketemu jodoh dan menikah (aamiin).

Ada yang nanya, galau nggak umur 26?
Nggaaakkk!!!! HAHAHA. Galaunya udah dihabisin di umur 25 kemaren hahaha. Karena banyak cita-cita yang pengen banget kesampean di umur 25, termasuk nikah. Tapi begitu lewat, yasudah.

Yang aku tau, rejeki, jodoh dan maut itu sudah ditentukan Allah. semua sudah punya waktunya sendiri-sendiri, tidak akan tertukar, dan semua sesuai porsi. Yang terpenting kan sabar, syukur, ikhlas. Intinya mau lebih banyak bersyukur dan bantu-bantuin orang biar hidupnya semakin berkah dan bermanfaat. Semoga Allah selalu meridhoi dan melindungi aku. aamiin

Rabu, 05 April 2017

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Yogyakarta, 5 April 2017


Ini bukan tentang hal-hal berat yang banyak dibicarakan media massa dan orang-orang akhir-akhir ini kok. Ini tentang curhatan saya ketika seseorang menyuruh saya untuk tidak terlalu idealis.

Saya punya teman. Sebut saja X. Dulu bekerja di pemerintahan, dengan bantuan saudaranya. Artinya, dia nggak benar-benar memulai pekerjaannya berdasarkan kerja kerasnya sendiri. Saya memang belum pernah bekerja. Sejak lulus S1, saya langsung melanjutkan S2 -sampai sekarang-

Waktu itu kami sedang berbincang, membicarakan fenomena yang banyak terjadi di Indonesia. Memanfaatkan "orang dalam" untuk bisa kerja atau apapun lah, biar dipermudah dan nggak banyak usaha. Asal kenal sama orang yang sudah bekerja di tempat itu, itu sudah aman (katanya). Saya bilang kalau saya tidak mau melakukan hal seperti itu. Bagi saya, itu nggak penting banget, kenapa sih orang-orang hanya melihat dari siapa yang dia kenal, bukan dari apa yang bisa dia lakukan? Kata teman saya, saya terlalu idealis. Nanti toh kalau udah mau bekerja, pasti juga bakal cari "orang dalam", begitu katanya.
Sejujurnya, saya sangat tersinggung. Kenapa? Kalau saya mau melakukan itu, dari jaman saya sekolah pun pasti sudah minta orang tua saya untuk memasukkan ke sekolah favorit. Toh, saya sekolah di tempat yang katanya favorit di kecamatan saya, karena usaha saya sendiri. Karena saya sudah berusaha dan belajar semampu saya. Pernah, waktu masuk SMA dan saya ketar-ketir tidak bisa masuk ke sekolah itu. Bapak menawarkan untuk sekolah di sekolahnya, yang (mungkin) sudah pasti diterima,  atau nanti Bapak bilang sama kepala sekolah ybs yang ada di sekolah yang saya daftar. Apa jawaban saya? TIDAK MAU! Banyak yang kenal Bapak saya, katakanlah, siapa sih yang nggak kenal Bapak saya. Akhirnya saya masuk ke SMA itu, TANPA BANTUAN BAPAK SAYA. Waktu awal kelas satu, yang langsung mengenali saya adalah guru musik, itu pun karena saya sudah kenal dari kecil. Guru matematika, pun karena teman tante saya. Itu pun tante yang cerita. Guru sejarah, guru matematika kelas dua, kenal karena dulu tetangga saya waktu saya masih kecil. Tapi, perlakuan beliau-beliau ke saya tidak pernah dibedakan dengan anak lain. Ya kali kalo dispesialkan, saya nggak pernah dihukum ngerjain soal di depan kelas yang aku nggak bisa. Sampai baru lulus SMA, baru pada ngeh kalau saya itu anak bapak saya. Ya nggak papa, yang penting kan aku udah lulus, nggak mempergunakan nama bapak saya untuk melakukan kecurangan.
Pun ketika kuliah, ketua jurusan adalah teman kuliah bapak saya. Berulang kali bapak nitip salam, aku selalu bilang sama bapak: "nanti saja disampaikan kalau saya sudah lulus". Saya ingin dikenal sebagai saya. Bukan karena anak bapak saya. Bukannya saya nggak bangga sama bapak lho ya, bangga sekali malah. Tapi aku juga butuh "punya nama" sendiri. Baru waktu mau lulus, Bapak Ketua Jurusan saya ini tahu kalau saya anak bapak saya. Dan ketemu setelah sekian tahun pun karena saya wisuda. Nggak cuma sama ketua jurusan saya, tapi juga PD (Pembantu Dekan) yang dulu juga teman satu kuliah sama bapak. Saya sih, nggak papa. Toh saya sudah lulus. Buktinya, sampai mei tahun lalu saya ke psikologi UNNES lagi, dosen-dosen saya masih mengenali saya sebagai mahasiswanya. KARENA SAYA, BUKAN KARENA SAYA DEKAT DENGAN KETUA JURUSAN.

Sampai sekarang, Bapak, didepan keluarga besar, atau teman-temannya, selalu bilang: "Ini anak saya, nggak pernah mau ketahuan kalau dia anak saya, katanya biar dia usaha dengan keringat dan sakitnya sendiri, bukan karena saya". Bapak sama sekali nggak tersinggung, tapi malah bangga dengan aku.

Jadi, buat anda yang selalu menggeneralisasikan semua orang berhasil karena "orang dalam" atau karena "sudah kenal", PICIK SEKALI YA ANDA. Saya, bukan termasuk orang-orang itu. Jika itu anda, ya monggo. Tapi jangan menggeneralisasikannya. Saya tersinggung loh. Terima kasih.

Kamis, 09 Maret 2017

Tiga Sahabat - Three Idiots

Yogyakarta, 9 Maret 2017
22:43


Aku ih tiba-tiba pengen banget nulis soal tiga sahabatku ini. Kalo suatu saat kalian baca, nggak usah geer! :p
Kita bareng-bareng dari jaman S1 dulu. Kalau aku sama usron sih, dari jaman awal masuk kuliah banget, 2009. Kalo sama mba puput, dari kapan ya? Dari skripsi bareng! :D

Dulu, jaman skripsian, kemana-mana selalu bertiga eh ada mba uli juga ding. Kami sering, curhat satu sama lain. Yang paling aku suka sahabatan dari kalian adalah, selain karna kita-kita lumayan mirip dari kebiasaan sampe sifat dan cara pandang, juga karna kita yang saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Kami nggak pernah menyentuh area privasi masing-masing. Kami saling tau, dan nggak pernah berusaha untuk masuk dan nerobos. Ini yang aku nggak dapet dari orang lain (kecuali Nana yang emang de bes banget dari jaman SD). Banyak orang mencoba "sok tau" dan "sok ikut campur" dengan urusan dan kehidupan pribadiku. Tapi kami nggak. Kami sih, prinsipnya, kalau mau cerita juga monggo, nggak juga nggak papa. Kami saling mengerti dan mendengarkan cerita satu sama lain, meski rasanya nggak penting-penting amat, tapi kami saling mendengarkan.

Ketika akhirnya wisuda dan pisah, aku lanjut S2, Usron kerja, Mba Puput juga kerja, kita beda kota. Rasanya, meski dapat teman-teman baru, tapi yang kayak mereka itu nggak ada! Yaiyalah, (NGGAK USAH GR KALIAN :P). Kadang aku merasa, selama dua tahun lebih nggak bareng sama mereka itu, rasanya kayak kehilangan diriku sendiri. Lagipula kita jarang kontak-kontak. Tapi ya itu, karna mungkin lingkunganku bukan dan nggak ada kalian, rasanya aku harus menyesuaikan diri dari awal. Memang berhasil sih, tapi kadang aku merasa aku kehilangan diriku sendiri. Tapi Allah membuat kita jadi satu kota lagi, dan aku seperti menemukan diriku lagi.

Yang aku tau, kalian selalu mendukung dan membantuku saat aku sulit. Kalian yang selalu ada disaat aku senang dan sedih. Kalian yang aku cari disaat aku gembira, sedih dan marah. Kalian yang membuatku selalu terpacu untuk menjadi orang yang lebih baik, yang selalu mengingatkan aku sama Allah, orang tua, keluarga dan hal-hal penting lainnya. Kalian yang bikin aku menemukan kembali diriku yang serasa hilang, yang bikin aku berani mengambil keputusan dan bikin aku jadi orang yang lebih baik. Ini nggak pernah berubah dari dulu!

Waktu ada yang bilang, kalau aku nggak pernah bisa menjaga hubungan dengan siapapun, aku marah memang. Aku sih, diam saja. Kalau aku memang nggak bisa menjaga hubungan, aku udah jauh dong dari dua sahabatku ini. Toh, dua tahun kami nggak bareng-bareng sama sekali nggak bikin kita jadi jauh dan canggung, makin kesini makin akrab. Persahabatan kami dari dulu, sudah saling mendewasakan satu sama lain. Kami saling belajar satu sama lain, dan memang kami tidak pernah bisa romantis, ngirim emot-emot menjijikkan, tapi nggak pernah bermaksud!

Lucunya, sahabatan sama kalian tidak serta merta membuatku banyak berjuang dan berusaha untuk saling menjaga persahabatan ini. Rasanya semua mengalir begitu saja. Mungkin berbeda, kalau berteman dengan orang lain, aku bisa menjaga sekuat tenaga, mungkin karna aku merasa hanya aku seorang. Tapi kalo sama mereka, semua dibawa santai dan enjoy. 

Kami hobinya tertawa dan mentertawakan diri sendiri. Itulah yang dinamakan sahabat, bukan? 


Setelah dua tahun nggak bareng, ketika akhirnya bareng lagi di Jogja, masih banyak yang bilang kita mirip, bahkan kembar. Aku sih rela-rela aja, tapi masih suka bingung, mirip darimana?! :D

Sabtu, 04 Maret 2017

(Haruskah) Membuka Luka Lama (?)

Yogyakarta, 4 Maret 2017

diiringi perut mulas dan sedikit perasaan gundah


Sulit untukku menceritakannya lagi. Tapi ini seperti hutang, karna aku pernah berjanji pada diriku, dan juga sahabatku, entah bagaimana nanti akhirnya, apakah aku dengannya atau dia dengan orang lain, aku tetap harus menuliskannya. Aku sulit menerimanya, tapi aku usahakan untuk tetap menjadi aku seperti biasanya, dan aku tinggalkan dia dengan kenangan dan luka-lukaku di masa lalu. Maafkan jika aku terlampau egois. Bukankah perihal mencintai, semua orang berubah menjadi egois?

Ada suatu masa, dimana aku dikenalkan oleh Allah denganmu. Sebagai seorang sahabat yang (mungkin) tidak bisa dipisahkan (namun itu dulu). Aku seperti dipermainkan oleh perasaanku sendiri. Maaf, karena tidak sedikitpun aku menyalahkanmu. Aku pernah berdua bersamamu, dulu, baik ketika kamu sendiri, maupun telah berdua. Rasa itu tumbuh dan berkembang dengan sendirinya tanpa bisa aku kendalikan, tanpa bisa aku sadari sepenuhnya, yang aku lakukan hanya bisa menemanimu dari sisi terburuk hingga terbaik, dari ketika kamu susah, dan ketika kamu bahagia. Sedikitpun aku tidak pernah menyesalinya. Kini aku percaya, ketika Allah tidak pernah menjodohkan kamu dengan dia, sedekat apapun kamu dan dia, kamu takkan bisa bersatu dengannya.

Sudah lama sekali, sejak pertama aku mengenalmu. Sudah lama sekali sejak perasaan itu tumbuh. Sudah lama sekali, sejak kenangan pertama dan selanjutnya berkembang dan sekarang menjadi sesuatu yang hanya patut aku sisihkan. Aku sama sekali tidak berhak untuk mengganggumu lagi.

Dan ada hari ketika kita terus bersama, sejak pagi hingga malam, sejak kamu sendiri sampai kamu berdua dan wanitamu selalu merasa tersisih dengan kehadiranku. Aku memiliki cintamu, tapi tidak dengan dirimu. Sama halnya dengan wanitamu, dia memiliki ragamu tapi tidak dengan cintamu. Posisi kita begitu sulit. Sulit bagimu meninggalkannya, dan sulit bagiku untuk menerimamu karna aku terlalu yakin bahwa kita hanya sahabat. Munafik sekali aku. Bahkan waktu yang kau punya lebih banyak kau habiskan denganku dibanding dengannya. Kamu menjagaku dan berbagi mimpi denganku, menyertakan aku dalam masa depanmu, membuatku selalu merasa bahwa aku wanita beruntung karna sudah menjadi bagian dari sekarangmu dan masa depanmu. Semua teman (bahkan juga dosen) mengira mungkin suatu saat kita akan bersama, bahwa wanita sekarangmu hanyalah sampinganmu. Tapi namanya manusia, hanya bisa meramal, menerka dari apa yang terjadi sekarang, berusaha (sok) tahu dengan kehidupan seseorang itu selalu salah. Mereka salah. Aku salah. Dia pun mungkin salah. Meski selalu menyenangkan dengannya, tertawa, gembira, sedih, senang, takut, gundah, benci, marah dan segala perasaan itu, tapi ada satu titik dimana, meskipun hari-hariku banyak kuhabiskan dengannya, tapi perasaanku mengatakan bahwa bukan dia orangnya yang akan menemaniku di masa tua nanti.

Sudah lebih dari empat tahun, sejak kamu memutuskan menjauhiku. Sudahlah, jangan tanyakan lagi bagaimana perasaanku saat itu. Sakit, sedih, marah, kecewa, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara kamu semakin bahagia, perasaanku semakin lara. Bohong saat kamu bilang bahwa hal terpenting dari mencintai adalah melihatnya bahagia meski tidak bersamamu, tetap saja aku ingin bahagianya adalah karenaku. Saat itu aku mengerti lagi, aku tidak lagi memiliki cintamu, perhatianmu dan kasih sayangmu. Bahkan ragamu sudah kau setel berjauh-jauhan denganku. Tatapan mata teduh, senyum yang hangat, tawamu yang membuat hatiku selalu menghangat, bahkan hanya sekedar sapamu pun tidak lagi kau tujukan buatku. (aku berusaha sekuat hati untuk tidak lagi menangis, tapi itu hanya menyakitiku). Yaa Allah, kembalikan dia padaku. Selalu saja doa-doa itu yang aku panjatkan. Aku rindu sekali dengan semuanya tentangmu. Kemana kamu? Sedang apa kamu? Ingatkah kamu padaku? :(

Dan diantara hari-hari penantian itu, aku yang selalu merindukanmu berharap jika suatu saat nanti kamu akan berbalik dan datang padaku. Teman-teman selalu bertanya, jika suatu saat dia kembali, apa yang akan aku lakukan? Aku akan kembali menerimanya. Selama aku masih sendiri, selama aku masih dengan rinduku, akan aku terima kembali dia dalam hidupku. Tapi nyatanya? Sampai sekarang kamu tak jua kembali. Bahkan tidak ada lagi aku dalam hidupmu.

Kita pernah bercakap, tapi ternyata kita adalah dua orang yang saling asing satu sama lain. Aku mengenalmu, tapi disaat itupun aku lebih banyak tidak mengenalmu. Kenapa rasanya sakit dan sedih sekali? Aku iri pada sahabat-sahabatku yang masih bisa bebas berbincang dan tertawa bersamamu, sedangkan aku tidak. Ini sungguh menyakitkan buatku.

Aku berusaha, dua tahun ini untuk melupakan dan mengikhlaskanmu pergi menjauh dariku. Mungkin aku masih dengan sombong berkata bahwa usahaku berhasil! (Sejak Juni 2015- ingat sekali dengan terapi kelompok di kelas itu). Tapi akhir-akhir ini tiba-tiba pertahananku semakin runtuh dan rasanya kembali merasakan sakit dan pedih, meski tidak sesakit dulu. Sejak akhir tahun lalu, sejak tahu rencanamu menikah dengan wanitamu itu, dan ketika akhirnya aku tau hari itu datang, aku berusaha menguatkan diriku lagi dan lagi, bahwa aku tak apa, bahwa aku baik-baik saja. dan lagi-lagi aku bersembunyi dalam topeng dan sandirawaku. Sungguh, hanya sedikit orang yang melihat bahwa aku tak pernah baik-baik saja selama ini. Dan ketika malam ini, hal itu terungkit lagi, aku seperti sudah kehabisan tenaga untuk mengingatmu. Air mataku memang tidak sederas dulu, tapi tetap masih ada. Hatiku memang tidak sesedih dulu, tapi sekarangpun masih sedih.

Bagaimana bisa aku dengan mudah lupa pada seseorang yang bisa menerimaku apa adanya diriku, yang selalu menyediakan waktu, cinta, kasih sayang dan perhatiannya untukku. Yang benci melihatku sedih dan menangis, yang selalu mengusahakan agar aku bisa bahagia dan sehat, yang selalu membantuku disaat aku susah, yang tidak pernah absen menghiburku, yang bisa membantuku menjadi orang yang jauh jauh dan jauh sekali lebih baik dari sebelumnya. Orang yang selalu  aku ingat senyumnya, tawanya, dan semua bentuk perhatian kecilnya. Aku rindu, dan aku sangat rindu. Tapi aku juga sedih, sedih dan sedih, karena biar bagaimanapun, kamu sudah menjadi milik yang sah orang lain. Apakah aku bisa mencintai orang lain, sebanyak dan sebesar aku mencintaimu? Apakah ada orang lain yang bisa memberikan sayang dan perhatiannya untukku sebanyak dan sebesar kamu?

Maaf, aku bukannya mengeluh dan tidak bersyukur. 
Maaf.
Maaf, bahkan sampai sekarang pun, "turut berbahagia atas bahagiamu" masih sangat sulit aku lakukan.
Maaf, diharimu yang paling bahagia pun aku tidak mengucapkan sepatah katapun, bahkan untuk bertemu pun aku tidak sanggup.

Maaf. Maaf dan maaf,
Terima kasih, karena pernah mengajarkan aku menjadi aku yang sebenarnya

Rabu, 08 Februari 2017

Untuk Aku

Yogyakarta, 9 Febuari 2017
Untuk aku, dari aku


Hai aku! 
Sudahlah, tidak usah bersedih. Tidak perlu berkecil hati. Tidak perlu meratapi.
Bangkitlah, bangkitlah menjadi aku yang kuat, yang selalu tersenyum dan tertawa dan membagikan keceriaan untuk orang-orang disekitar.
Kuatlah, selalu menjadi orang kuat. Beban dipundakmu itu, tidak perlu terus-terusan membuatmu berpikir terus menerus.

Untukku,
Bagiku aku adalah segalanya. Mencintai diri dan hidup sendiri. Hidup atas kebesaran dan kerendahan hati.
Tak mengapa meski tak banyak orang yang paham dan mengerti, karena aku sudah unik dengan caraku  sendiri.
Untukku,
Bersemangatlah sedikit. Jangan risau, dan jangan galau.
Biarlah waktu terus berlalu, tapi kamu tidak akan pernah menyerah, oke?

Apapun yang menjadi pikiran dan bebanmu saat ini, tak berhak merenggut sebagian atau seluruh tawamu.
Apapun yang mengganjal dan menjegalmu saat ini, tak berhak membuat kamu jatuh dan tidak bangkit lagi.
Bersabarlah, bersabarlah, bersabarlah.
Ikhlaskan, bahwa segala sesuatu sudah menjadi kodrat Allah, yang dimana rencananya jauh lebih baik dibanding rencanamu.




dari aku untuk aku yang sedang galau

Untuk (Laki-Laki) Sahabatku

Yogyakarta, 8 Febuari 2017

Teruntuk Kawan, sekaligus orang yang diam-diam selalu aku doakan


Halo, sedang apa kamu disana? Sehatkah? Bahagiakah?
Apapun, tapi aku selalu mendoakan kesehatan dan kebahagianmu, selalu.
Malam ini aku tahu satu dan banyak hal tentangmu, yang selama ini tak kamu bagikan padaku.

Aku tidak mengerti, dan tidak berhenti untuk mengira. Aku mungkin salah telah mengharap lebih dan lebih. Bahkan ketika kamu meniadakan harapan itu, salahkah aku?
Sudah lama sekali, sudah tujuh tahun dan lebih aku mengenalmu. Ingin mengenalmu lagi dan lagi. Tertawa dan bersedih bersamamu. Selama ini, hanya aku yang bersedih sendiri, sementara kamu tidak. Tidak mengapa, karena bahagiamu yang utama.

Kupikir, setelah kamu bercerita bahwa melepasnya adalah hal yang termudah (sekaligus tersulit) bagimu, melihat orang-orang di masa lalumu menikah dan berbahagia, kamu akan mencari dan menemukan kebahagiaanmu sendiri. Aku mengaku, aku sedikit banyak sudah lancang cemburu. Apakah perasaan ini bisa aku tepis? Tidak. Karena aku selalu berpaku pada satu titik dalam dirimu: suatu saat kamu akan melihatku dan menggenggamku. Kupikir aku mulai gila, saat melihat seseorang di masa lalumu berkata dia sudah menemanimu dari nol dan kamu dengan teganya membuangnya. Aku memang tidak pernah (dengan sengaja) menemanimu dari nol. Tapi aku tahu, disaat kamu belum sebaik ini, disaat kamu belum sedewasa ini, kamu menjadikanku tempat berkeluh kesah. Dan mungkin aku, dengan bodohnya, selalu mendengar semua cacian dan makian. Aku yang (mungkin) dengan sabarnya, menemanimu dari kamu bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang dikagumi banyak orang. Di saat mungkin kamu lupa, di saat itu aku belajar untuk melupa. Tapi, kamu dengan mudahnya meruntuhkan tembok yang aku bangun tinggi-tinggi.

Ada satu hal yang aku syukuri, karena aku selalu menjadi temanmu, tidak pernah sedikitpun kamu ingin membuangku, dan tetap menjadikanku temanmu. Tidak ada kata putus, tidak ada kata berpisah. Apakah ini baik? Atau justru ini secara tidak sengaja menyakitiku? Entahlah. Tapi tak mengapa, dengan begini pun aku sudah senang. Membebaskanmu, mengikhlaskanmu dan merelakanmu sudah menjadi bagian dari diriku bertahun-tahun. Dan aku tidak tahu akan seperti apa kita kelak, yang terpenting aku bersyukur karena sudah menjadi bagian hidupmu, menjadi temanmu.

Baiklah, tak mengapa.
Jangan biarkan aku terbelenggu oleh pesonamu.
Maafkan aku yang sudah lancang mencemburuimu.
Maafkan aku yang sudah (pernah) sangat menginginkanmu.




Teruntuk sahabatku,
dari seseorang yang selalu kau cari di saat kau patah dan terjatuh