Rabu, 05 April 2017

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Yogyakarta, 5 April 2017


Ini bukan tentang hal-hal berat yang banyak dibicarakan media massa dan orang-orang akhir-akhir ini kok. Ini tentang curhatan saya ketika seseorang menyuruh saya untuk tidak terlalu idealis.

Saya punya teman. Sebut saja X. Dulu bekerja di pemerintahan, dengan bantuan saudaranya. Artinya, dia nggak benar-benar memulai pekerjaannya berdasarkan kerja kerasnya sendiri. Saya memang belum pernah bekerja. Sejak lulus S1, saya langsung melanjutkan S2 -sampai sekarang-

Waktu itu kami sedang berbincang, membicarakan fenomena yang banyak terjadi di Indonesia. Memanfaatkan "orang dalam" untuk bisa kerja atau apapun lah, biar dipermudah dan nggak banyak usaha. Asal kenal sama orang yang sudah bekerja di tempat itu, itu sudah aman (katanya). Saya bilang kalau saya tidak mau melakukan hal seperti itu. Bagi saya, itu nggak penting banget, kenapa sih orang-orang hanya melihat dari siapa yang dia kenal, bukan dari apa yang bisa dia lakukan? Kata teman saya, saya terlalu idealis. Nanti toh kalau udah mau bekerja, pasti juga bakal cari "orang dalam", begitu katanya.
Sejujurnya, saya sangat tersinggung. Kenapa? Kalau saya mau melakukan itu, dari jaman saya sekolah pun pasti sudah minta orang tua saya untuk memasukkan ke sekolah favorit. Toh, saya sekolah di tempat yang katanya favorit di kecamatan saya, karena usaha saya sendiri. Karena saya sudah berusaha dan belajar semampu saya. Pernah, waktu masuk SMA dan saya ketar-ketir tidak bisa masuk ke sekolah itu. Bapak menawarkan untuk sekolah di sekolahnya, yang (mungkin) sudah pasti diterima,  atau nanti Bapak bilang sama kepala sekolah ybs yang ada di sekolah yang saya daftar. Apa jawaban saya? TIDAK MAU! Banyak yang kenal Bapak saya, katakanlah, siapa sih yang nggak kenal Bapak saya. Akhirnya saya masuk ke SMA itu, TANPA BANTUAN BAPAK SAYA. Waktu awal kelas satu, yang langsung mengenali saya adalah guru musik, itu pun karena saya sudah kenal dari kecil. Guru matematika, pun karena teman tante saya. Itu pun tante yang cerita. Guru sejarah, guru matematika kelas dua, kenal karena dulu tetangga saya waktu saya masih kecil. Tapi, perlakuan beliau-beliau ke saya tidak pernah dibedakan dengan anak lain. Ya kali kalo dispesialkan, saya nggak pernah dihukum ngerjain soal di depan kelas yang aku nggak bisa. Sampai baru lulus SMA, baru pada ngeh kalau saya itu anak bapak saya. Ya nggak papa, yang penting kan aku udah lulus, nggak mempergunakan nama bapak saya untuk melakukan kecurangan.
Pun ketika kuliah, ketua jurusan adalah teman kuliah bapak saya. Berulang kali bapak nitip salam, aku selalu bilang sama bapak: "nanti saja disampaikan kalau saya sudah lulus". Saya ingin dikenal sebagai saya. Bukan karena anak bapak saya. Bukannya saya nggak bangga sama bapak lho ya, bangga sekali malah. Tapi aku juga butuh "punya nama" sendiri. Baru waktu mau lulus, Bapak Ketua Jurusan saya ini tahu kalau saya anak bapak saya. Dan ketemu setelah sekian tahun pun karena saya wisuda. Nggak cuma sama ketua jurusan saya, tapi juga PD (Pembantu Dekan) yang dulu juga teman satu kuliah sama bapak. Saya sih, nggak papa. Toh saya sudah lulus. Buktinya, sampai mei tahun lalu saya ke psikologi UNNES lagi, dosen-dosen saya masih mengenali saya sebagai mahasiswanya. KARENA SAYA, BUKAN KARENA SAYA DEKAT DENGAN KETUA JURUSAN.

Sampai sekarang, Bapak, didepan keluarga besar, atau teman-temannya, selalu bilang: "Ini anak saya, nggak pernah mau ketahuan kalau dia anak saya, katanya biar dia usaha dengan keringat dan sakitnya sendiri, bukan karena saya". Bapak sama sekali nggak tersinggung, tapi malah bangga dengan aku.

Jadi, buat anda yang selalu menggeneralisasikan semua orang berhasil karena "orang dalam" atau karena "sudah kenal", PICIK SEKALI YA ANDA. Saya, bukan termasuk orang-orang itu. Jika itu anda, ya monggo. Tapi jangan menggeneralisasikannya. Saya tersinggung loh. Terima kasih.